Rabu, 9 Februari 2011

Kisah Putri Bangsawan Mesir dan Imam Ibnu Hajar by:ikhtiar


Nama Ibnu Hajar Al-Atsqolani rahimahullah adalah nama yang sudah tidak asing lagi, seorang ulama besar di abad sembilan, pakar hadits dan fikih. Kitab Fathul Bari adalah kitab yang menunjukkan tingkat keilmuwannya yang luar biasa. Imam Suyithi menyebutnya sebagai, “Syaikhul Islam”, pemimpin para penghafal di jamannya, ulama hebat di Mesir dan bahkan di seluruh dunia.
Tetapi jarang yang tahu dan bahkan buku sejarah pun jarang mengungkap, siapakah istri yang setia mendampingi ulama besar itu. Yang telah dengan begitu sabar mendampinginya mengarang kitab Fathul Bari dalam kurun waktu seperempat abad. Wanita ini bukan termasuk orang yang dikenal. Tidak tercatat sebagai orang-orang tenar. Tetapi dia hidup di dalam lingkungan ulama terkenal di jamannya.
Ya, dia adalah Uns binti Abdul Karim. Putri bangsawan Mesir. Putri keluarga terpandang di Mesir. Ayahnya adalah orang sangat terpandang di seluruh Mesir. Ibunya yang bernama Sarah binti Nasruddin juga orang yang sangat terpandang. Sebagian keluarganya juga merupakan ulama terpandang. Lengkaplah sudah bahwa Uns hidup di kalangan para pejabat yang dikawal dan penuh dengan kesenangan.
Mesir menjadi tempat kelahirannya. Tahun 780 H tepatnya. Kehidupannya sejak kecil layaknya kehidupan para putri bangsawan. Pendidikan yang diraihnya cukup tinggi. Dengan etika kebangsawanan yang tinggi. Hingga Uns di usianya yang baru menginjak dewasa sudah menjadi rujukan bagi para wanita bangsawan lain untuk bertanya. Hal ini dikarenakan dia mempunyai ketajaman pandangan dan kepandaian otak.
Taqdirlah yang menjodohkannya dengan Ibnu Hajar. Melalui perantara guru Ibnu Hajar, Ibnu Qotton. Pada bulan Syaban tahun 798 H, Mesir menjadi saksi kebahagiaan Ibnu Hajar dan Uns yang melangsungkan pernikahan mereka. Ibnu Hajar ketika itu berusia 25 tahun sedangkan Uns berusia 18 tahun.
Uns telah memasuki dunia baru. Di hadapannya kini adalah suami yang sekaligus ulama terkenal di jamannya. Ahli hadits yang tiada bandingnya. Dan Ibnu Hajar mendapati istri sholihah yang sangat mencitai ilmu. Allah telah menjodohkan pasangan yang sangat serasi ini.
Dengan penuh kesabaran, Uns belajar hadits di rumah kepada suaminya yang mengajarnya juga dengan segala kesabaran dan kasih sayang. Seiring dengan perjalanan waktu, Uns mulai menjadi wanita yang memiliki ilmu hadits. Hingga suatu saat, Uns menjadi salah satu dari ahli hadits wanita yang sangat jarang didapati ketika itu. Uns mulai memasuki dunia keilmuwan dan namanya dikenal oleh para pecinta ilmu.
Uns pun mulai disibukkan dengan mengajarkan ilmu hadits yang dipelajarinya dari sang suami. Seperti juga suaminya, Uns mempunyai murid-murid yang banyak. Ada yang membaca shohih Bukhari dari awal hingga akhir.
Uns tetap seperti wanita lain. Yang senang memasak dan membuat kue istimewa. Setelah murid-muridnya menamatkan shohih Bukhari, Uns membuat kue dan makanan serta buah-buahan. Uns mengundang penduduk daerah tersebut. undangan terbuka untuk umum. Semua murid dan penduduk kampung dari yang besar hingga yang kecil semua berduyun-duyun menghadiri tasyakuran besar itu. Apalagi hari itu, adalah hari menjelang bulan Ramadhan. Pesta itu ikut dihadiri oleh suami tercinta Ibnu Hajar.
Bahkan Imam Sakhowi yang juga murid Ibnu Hajar, pernah meminta agar belajar hadits dari Uns. Dengan begitu sabar Ibnu Hajar duduk di samping istrinya yang sedang menyimak bacaan Sakhowi. Kebersamaan yang sangat indah.
Kebahagiaan keluarga berkah ini dilengkapi dengan hadirnya anak-anak buah cinta mereka. Uns memang luar biasa. Bukan saja sebagai pecinta ilmu, tetapi juga wanita yang memiliki kecintaan dan kasih sayang yang besar kepada suaminya dan memberikan keturunan untuk Ibnu Hajar.
Setelah empat tahun mereka menanti, Allah berkenan memberikan keturunan pertama, perempuan. Yang diberi nama Zein Khotun. Sebuah keluarga yang tertata rapi, karena istri yang terdidik di keluarga bangsawan yang penuh dengan kedisiplinan. Jarak dari satu anak ke anak yang lain hampir rata. Sekitar tiga tahun. Allah memberikan putri kedua yang diberi nama Farhah. Berikutnya yang ketiga juga putri yang diberi nama Gholiyah. Jarak tiga tahun berikut lahir putri keempat yang diberi nama Robiah. Dan akhirnya yang kelima pun putri dengan nama Fatimah.
Pasangan dengan lima putri yang cantik dan lucu-lucu. Suasana keluarga semakin terasa indah. Uns yang telah mengabdikan hidupnya untuk suaminya membuat Ibnu Hajar selalu merindukannya. Ketika Ibnu Hajar harus pergi meninggalkannya menuju Mekah dalam rangka melanjutkan menuntut ilmu, jarak Mesir Mekah mengukir kerinduan yang mendalam di hati Ibnu Hajar. Kerinduan terhadap kelima putrinya dan ibu dari putri-putrinya. Ibnu Hajar sempat menguntai bait-bait syair untuk mengungkapkan kerinduannya yang sangat dalam. Begitu romantis.
Perpisahan itu, semakin menambah kebersamaan mereka semakin indah. Saat-saat Allah mempertemukan mereka kembali. Pada suatu hari Uns meminta untuk ditemani pergi haji. Ibnu Hajar pun pergi dengan istri tercintanya itu untuk membangun kebersamaan itu di atas ibadah.
Setelah haji yang pertama ini, Uns kembali merindukan Mekah setelah kira-kira lima belas tahun berikutnya. Uns meminta ijin kepada suaminya untuk bisa pergi haji. Ibnu Hajar mengijinkannya. Kali ini Uns ditemani oleh cucunya Yusuf Syahin yang masih kecil.
Bersama kebahagiaan ini, Allah mempunyai kehendak lain. Kebahagiaan Uns bersama suami tercinta dan putri-putrinya serta cucunya, harus menghadapi taqdir Allah. Satu persatu putrinya meninggal di pangkuannya. Putrinya yang ketiga dan keempat meninggal terlebih dahulu setelah tertimpa penyakit yang mewabah waktu itu. selang beberapa tahun berikutnya, putrinya pertama menyusul kedua adiknya. Untuk kemudian giliran Allah memanggil putrinya yang kedua dan terakhir.
Dengan segala kebesaran hati, Uns menerima taqdir Allah, melepas kepergian belahan jiwanya. Tidak ada keluh kesah, yang ada adalah pasrah Kepada Allah.
Uns bak mutiara kilauannya semakin bersinar dari hari ke hari. Uns juga mempunyai sifat dermawan. Dia selalu menyisihkan uangnya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan para manula yang miskin.
Kebersamaan yang indah dengan suaminya bukan tiada akhir. Setelah lima puluh empat tahun mereka berbahagia bersama. Saling membantu, memahami, memaafkan dan berbagi. Pada bulan jumadil awal tahun 852 H Ibnu Hajar mendapat musibah sakit. Sakit itu berkelanjutan sampai tujuh bulan lamanya. Dengan penuh pengabdian yang tulus dan kesabaran yang luar biasa, Uns merawat suaminya. Hingga pada malam Sabtu tanggal 28 Dzul Hijjah tahun 852 H Uns harus melepaskan orang yang paling dicintainya dalam hidupnya. Harus melepas kenangan indah bersama suaminya. Untuk dilanjutkan kelak di akhirat sana.
Uns adalah tipe wanita yang sangat setia. Tidak terpikir olehnya untuk menikah lagi. Padahal Uns masih hidup 15 tahun lagi setelah ditinggal suaminya. Dalam rentang 15 tahun itu Uns menghabiskannya untuk iimu, ibadah dan pengabdian ke masyarakat. Allah berkenan memberinya usia panjang. Pada usianya yang ke-87 tepatnya bulan Robiul Awal tahun 867 H, Uns harus menghadap Penciptanya menyusul suami tercintanya. Semoga Allah merahmati Uns binti Abdul Karim.

Saya ingin diampuni Allah by:ikhtiar


Kisah Putri Bangsawan Mesir dan Imam Ibnu Hajar“Saya ingin diampuni Allah,” kata Abu Bakar r.a menyambut turunnya ayat: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan para Muhajirin pada jalan Allah dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tak ingin Allah mengampuni kamu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24: 22)
Ayat di atas menjadi teguran untuk Abu Bakar. Ia memang pernah bersumpah untuk tak memberikan bantuan kepada Misthah yang selama ini kerap ditolongnya. Sebenarnya, Misthah masih termasuk keluarga Abu Bakar, yaitu putra saudara perempuan ayahnya. Namun demikian, Abu Bakar sangat marah kepadanya, karena Misthah ikut menyebarkan kabar bohong menyangkut ‘Aisyah, putrinya dan sekaligus istri Nabi Saw. Kabar yang disebarkan Misthah itu bisa menghancurkan nama baik keluarga Abu Bakar.
Mendengar kabar itu, Nabi Saw pun gundah dan bimbang. Beliau mencari-cari informasi tentang kabar tersebut. Kegundahan Nabi reda setelah turun beberapa ayat dalam Surah an-Nur (24) yang menjelaskan kebohongan berita itu. Setelah jelas status kabar itu, orang-orang mencari sumber beritanya. Tersebutlah Misthah menjadi salah satu penyebarnya. Karena itu Abu Bakar marah dan keluarlah sumpah itu.
Dalam ayat di atas, Allah menegur Abu Bakar dan semua orang yang mempunyai kelebihan agar memberi bantuan kepada orang-orang yang miskin, kaum Muhajirin (orang yang pindah dari Mekah menuju ke Madinah atau tempat yang lain) dan kepada siapa saja memerlukan uluran tangan. Janganlah mereka bersumpah untuk tidak memberi bantuan karena orang yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan atau karena ketersinggungan pribadi. Hendaknya, orang yang berkelebihan itu berhati besar dan sebaiknya mereka memaafkan dan berlapang dada.
Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar memaafkan Misthah, ia membatalkan sumpahnya, dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah, sebagaimana sediakala.

Tsa’labah Bin Abdurrahman Dan Ketakutannya Akan Dosa by ikhtiar


Seorang pemuda dari kaum Anshar yang bernama Tsa’labah bin Abdurrahman telah masuk Islam. Dia sangat setia melayani Rasulullah SAW. Suatu ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk suatu keperluan.
Dalam perjalanannya dia melalui rumah salah seorang dari Anshar, maka terlihat dirinya seorang wanita Anshar yang sedang mandi. Dia takut akan turun wahyu kepada Rasulullah SAW menyangkut perbuatannya itu. Maka dia pun pergi kabur. Dia menuju ke sebuah gunung yang berada di antara Mekkah dan Madinah dan terus mendakinya.
Selama empat puluh hari Rasulullah SAW kehilangan dia. Lalu Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam buatmu dan berfirman kepadamu, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku.”"
Maka Nabi SAW berkata, “Wahai Umar dan Salman! Pergilah cari Tsa’laba bin Aburrahman, lalu bawa kemari.”
Keduanya pun lalu pergi menyusuri perbukitan Madinah. Dalam pencariannya itu mereka bertemu dengan salah seorang penggembala Madinah yang bernama Dzufafah.
Umar bertanya kepadanya, “Apakah engkau tahu seorang pemuda di antara perbukitan ini?”
Penggembala itu menjawab, “Jangan-jangan yang engkau maksud seorang laki-laki yang lari dari neraka Jahanam?”
“Bagaimana engkau tahu bahwa dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar. Dzaufafah menjawab, “Karena, apabila malam telah tiba, dia keluar kepada kami dari perbukitan ini dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, “Mengapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti keputusan!”
“Ya, dialah yang kami maksud,” tegas Umar. Akhirnya mereka bertiga pergi bersama-sama.
Ketika malam menjelang, keluarlah dia dari antara perbukitan itu dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, “Wahai, seandainya saja Engkau cabut nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti-nanti keputusan!”
Lalu Umar menghampirinya dan mendekapnya. Tsa’labah berkata, “Wahai Umar! Apakah Rasulullah telah mengetahui dosaku?”
“Aku tidak tahu, yang jelas kemarin beliau menyebut-nyebut namamu lalu mengutus aku dan Salman untuk mencarimu.”
Tsa’labah berkata, “Wahai Umar! Jangan kau bawa aku menghadap beliau kecuali dia dalam keadaan sholat”
Ketika mereka menemukan Rasulullah SAW tengah melakukan sholat, Umar dan Salman segera mengisi shaf. Tatkala Tsa’laba mendengar bacaan Nabi saw, dia tersungkur pingsan. Setelah Nabi mengucapkan salam, beliau bersabda, “Wahai Umar! Salman! Apakah yang telah kau lakukan terhadap Tsa’labah?”
Keduanya menjawab, “Ini dia, wahai Rasulullah saw!”
Maka Rasulullah berdiri dan menggerak-gerakkan Tsa’labah yang membuatnya tersadar. Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?”
Tsa’labah menjawab, “Dosaku, ya Rasulullah!”
Beliau mengatakan, “Bukankah telah kuajarkan kepadamu suatu ayat yang dapat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan?”
“Benar, wahai Rasulullah.”
Rasulullah SAW bersabda, “Katakan Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka.”
Tsa’labah berkata, “Dosaku, wahai Rasulullah, sangat besar.”
Beliau bersabda,”Akan tetapi kalamullah lebih besar.” Kemudian Rasulullah menyuruh agar pulang ke rumahnya. Di rumah dia jatuh sakit selama delapan hari. Mendengar Tsa’labah sakit, Salman pun datang menghadap Rasulullah SAW lalu berkata,
“Wahai Rasulullah! Masihkah engkau mengingat Tsa’labah? Dia sekarang sedang sakit keras.” Maka Rasulullah SAW datang menemuinya dan meletakkan kepala Tsa’labah di atas pangkuan beliau. Akan tetapi Tsa’labah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau.
“Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pangkuanku?” tanya Rasulullah SAW.
“Karena penuh dengan dosa.” Jawabnya.
Beliau bertanya lagi, “Bagaimana yang engkau rasakan?” “Seperti dikerubuti semut pada tulang, daging, dan kulitku.” Jawab Tsa’labah.
Beliau bertanya, “Apa yang kau inginkan?” “Ampunan Tuhanku,” Jawabnya.
Maka turunlah Jibril as. dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam untukmu dan berfirman kepadamu, “Kalau saja hamba-Ku ini menemui Aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan temui dia dengan ampunan sepenuh itu pula.” Maka segera Rasulullah SAW memberitahukan hal itu kepadanya. Mendengar berita itu, terpekiklah Tsa’labah dan langsung ia meninggal.
Lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar Tsa’labah segera dimandikan dan dikafani. Ketika telah selesai disholatkan, Rasulullah SAW berjalan sambil berjingkat-jingkat. Setelah selesai pemakamannya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Kami lihat engkau berjalan sambil berjingkat-jingkat.”
Beliau bersabda, “Demi Zat yang telah mengutus aku sebagai seorang nabi yang sebenarnya! karena, banyaknya malaikat yang turut menziarahi Tsa’labah.”